Muhammad Fuad Anshari

Be Positive, Full of Passion and Ideas

COVID-19 memberikan dampak ekonomi yang parah bagi perekonomian global, kondisi tersebut juga berlaku bagi Indonesia yang sempat mencatatkan...


COVID-19 memberikan dampak ekonomi yang parah bagi perekonomian global, kondisi tersebut juga berlaku bagi Indonesia yang sempat mencatatkan kontraksi pertumbuhan PDB sebesar -2,19 persen di tahun 2020. Berbagai daya upaya telah dikerahkan oleh regulator dalam rangka mendorong pemulihan ekonomi salah satunya melalui program pemulihan ekonomi nasional dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020, dan berbagai kebijakan ekstraordinary yang diluncurkan oleh Bank Sentral dan Otoritas Pengawas Jasa Keuangan.

Kabar membahagiakan akhirnya terlihat di kuartal II 2021, Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan positif PDB sebesar 7,07 persen year on year.  Kondisi ini sejalan dengan proyeksi IMF sebesar 4,8 di tahun 2021, 6 persen di tahun 2022, dan terus berlanjut dalam jangka menengah sebesar 5,5 – 6,1 di tahun 2025 (IMF Country Report No. 21/46, Maret 2021). Namun, dengan melonjaknya infeksi COVID varian delta di awal kuartal III 2021 menimbulkan ketidakpastian dalam kondisi perekonomian kedepannya.

Menurunnya aktivitas perekonomian berdampak pada memburuknya kondisi para pelaku usaha, dilansir dari Kompas berdasarkan sistem informasi penelusuran perkara dari lima pengadilan niaga (Jakarta Pusat, Medan, Semarang, Surabaya dan Makassar) terdapat tren peningkatan kasus PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) selama masa pandemi, dari 434 kasus di tahun 2019 menjadi 641 kasus di tahun 2020 (47,6% YoY) dan per kuartal I 2021 tercatat adanya pengajuan sebanyak 199 permohonan (70% YoY).

Kondisi ini turut mencuri perhatian pemerintah, dilansir dari Kata Data Menteri Koordinator Bidang  Perekonomian dalam Rakernas Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pada tanggal 24 Agustus 2021 sempat menyampaikan bahwa pemerintah sedang mengkaji moratorium terhadap PKPU untuk perusahaan yang terdampak pandemi. Hal ini sejalan dengan Concept Note yang disusun oleh World Bank berjudul “World Development Report 2022  Finance For An Equitable Recovery”, dalam publikasi tersebut menyoroti meningkatnya risiko peningkatan kasus PKPU dan/atau kepailitan dapat membebani sistem pengadilan yang mengakibatkan lambatnya proses restrukturisasi dan peningkatan biaya penanganan baik untuk debitur maupun kreditur sehingga menghambat penyaluran kredit kepada perusahaan yang sehat selama proses pemulihan ekonomi. Terdapat lima rekomendasi untuk menangani permasalahan tersebut yaitu memperkuat mekanisme penanganan formal agar out of court workout dapat diimplementasikan, memfasilitasi mekanisme yang lebih sederhana seperti konsiliasi dan mediasi (hybrid approach), menetapkan mekanisme OCW yang murah dan dapat diakses oleh UMKM, simplifikasi prosedur likuidasi, serta mendorong debt forgiveness and discharge untuk debitur perorangan.

Sependapat dengan analisis dari World Bank, Financial Stability Board (FSB) juga menyampaikan bahwa peningkatan kasus PKPU dan/atau kepailitan akan berdampak pada sektor keuangan sebagai pihak kreditur, menurunnya kualitas kredit secara masif dan bersamaan di masa pandemi dikhawatirkan dapat meningkatkan kerentanan di sistem keuangan. Mekanisme OCW dianggap sebagai salah satu cara yang efisien untuk dapat menghindarkan debitur dari proses likuidasi pada saat terjadinya peningkatan kasus PKPU. Oleh karena itu, FSB pada tanggal 28 Juni 2021 lalu menerbitkan peer reviu tematik tentang penanganan utang korporasi dan meminta feedback dari seluruh stakeholder. Tujuan dari peer reviu  tersebut adalah untuk menganalisis praktik yang dimiliki oleh negara anggota terkait dengan pelaksanaan OCW, dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan, lesson learn, serta rekomendasi perbaikan. FSB memperkirakan akan dapat mempublikasikan hasil laporan peer reviu tersebut pada awal tahun 2022.


Sumber: diolah

Berdasarkan pembahasan sebelumnya ditekankan perlunya mendorong pelaksanaan OCW dan hybrid procedures dalam penanganan kasus perusahaan yang mengalami masalah insolvensi. Secara umum terdapat empat Jenis penanganan resolusi yaitu OCW, hybrid procedures, judicial reogranizations, dan likuidasi. Keempat prosedur tersebut diklasifikasikan berdasarkan tingkat formalitasnya sebagai berikut:



 

Sumber: World Bank, 2016, A Toolkit for Out of Court Workouts

OCW merupakan mekanisme yang tidak terstruktur karena dilaksanakan diluar sistem pengadilan formal,  prosedur pelaksanaan OCW menyesuaikan kebutuhan para pelaku terkait. Terdapat beberapa keuntungan dari OCW yaitu:

  1. Cepat, karena tidak ada prosedur dengan kerangka baku;
  2. Fleksibel, karena para pihak bebas untuk menentukan syarat-syarat restrukturisasi;
  3. Informal, karena perjanjian dilakukan secara privat antara para pihak; dan
  4. Rahasia, karena perjanjian pribadi tidak disebarluaskan ke publik sehingga dapat mencegah kerusakan reputasi debitur.

Walaupun OCW merupakan mekanisme informal, di beberapa negara memilih untuk menyusun pedoman yang tidak bersifat mengikat. Jika pemerintah mengambil pendekatan tersebut terdapat beberapa tindakan yang harus dilakukan yaitu melakukan evaluasi dan memahami bagaimana mekanisme kerjasama antara kreditur dan debitur dalam penyelesaian utang-piutangnya serta mengkomunikasikan kerangka kepailitan kepada para pemangku kepentingan.

Adapun beberapa tantangan dalam penerapan OCW adalah:

  1. Kreditur “hold-out”: dikarenakan sifat kontraktualnya,  OCW hanya mengikat pihak penandatangan perjanjian sehingga meningkatkan risiko adanya kreditur lainnya (yang tidak terikat) untuk mengambil keuntungan.
  2. OCW hanya dimungkinkan jika kreditur utama menyatakan kesediaannya. Kreditur utama dapat mendorong kreditur lain untuk bergabung (atau tidak).
  3. Identifikasi/organisasi kreditur: Penjualan utang di pasar sekunder dan penggunaan hedging dapat menghambat identifikasi kreditur yang bertujuan untuk mengoordinasikan strategi negosiasi.
  4. Perlunya koordinasi para pihak yang kuat terutama jika terjadi fragmentasi sudut pandang.
  5. Masalah agregasi: Sering kali ada berbagai jenis kreditur dengan kepentingan berbeda sehingga mempersulit proses negosiasi. Untuk membuat negosiasi lebih mudah dapat dilakukan pengelompokan berbagai jenis kreditur atau hanya memfokuskan pembahasan pada kelompok kreditur tertentu.
  6. Perlu itikad baik: OCW hanya dapat berhasil jika terdapat komitmen nyata untuk melakukan negosiasi.
  7. Perlu kerjasama: Setiap kreditur harus setuju untuk tidak mendesak perusahaan melakukan pelunasan kewajibannya sampai kondisi perusahaan membaik.
  8. Tidak adanya proses restrukturisasi yang dapat diprediksi dapat menciptakan ketidakpastian yang tinggi sehingga tidak menarik bagi pemangku kepentingan, terutama dalam kasus perusahaan berskala lebih besar.
  9. Adanya asimetri informasi antara debitur dan kreditur dapat menimbulkan konflik kepentingan dan masalah koordinasi.
  10. Hukum kepailitan: perlu memitigasi adanya ketentuan yang dapat membuat perjanjian yang telah disepakati untuk dibatalkan (dalam skenario likuidasi) yang dapat membuat kreditur enggan untuk mencapai kesepakatan.

Pendekatan hybrid merupakan gabungan dari mekanisme OCW dan mekanisme formal pengadilan. Prosedur hybrid mengambil beberapa keuntungan dari OCW seperti kecepatan dan fleksibilitas, dilain sisi prosedur hybrid juga dapat mengikat kreditur lainnya (yang kurang setuju dengan rencana rekstrukturisasi) sehingga dapat menjaga kelancaran proses restrukturisasi. Lebih lanjut, pelaksanaan prosedur hybrid juga dapat dilakukan sebelum perusahaan benar-benar mengalami masalah insolvensi untuk mencegah terjadinya pemburukan kesehatan perusahaan. Beberapa keuntungan dari penggunaan prosedur hybrid adalah:

  1. Bersifat mengikat. Kesepakatan pribadi yang dicapai dengan kreditur biasanya diajukan ke pengadilan atau otoritas administratif sehingga mengikat dan dapat dilaksanakan oleh masing-masing pihak.
  2. Mendorong tercapainya kesepakatan bagi kreditur yang berbeda pendapat. Persetujuan dari pengadilan dapat menjadi alat persuasi yang ampuh untuk tercapainya kesepakatan
  3. Aspek Keadilan. Perjanjian restrukturisasi telah memenuhi persyaratan formal dan ambang batas minimum yang disyaratkan oleh hukum.
  4. Kepastian. Keterlibatan pengadilan memberikan kepastian bagi para pemangku kepentingan.

Beberapa isu dalam penggunaan mekanisme hybrid yang dapat menjadi perhatian para pihak yang terlibat adalah sebagai berikut:

  1. kehilangan sifat rahasianya dan dapat mengakibatkan keengganan para pihak untuk melakukan diskusi (mengingat adanya peran pengadilan).
  2. Kemungkinan bagi kreditur (terutama yang tidak terlibat) untuk mengajukan gugatan formal. Namun demikian, alasan-alasan di mana kesepakatan tersebut dapat digugat biasanya terbatas.
  3. Adanya proses gugatan atau peninjauan kembali menimbulkan ketidakpastian sementara. 

untuk dapat mengembangkan prosedur hybrid yang efektif terdapat kemungkinan untuk melakukan  reformasi terhadap undang-undang kepailitan, kondisi ini berbeda dengan  OCW. Oleh karena itu, jika pemerintah akan mengambil keputusan untuk memperkenalkan prosedur hybrid perlu pemahaman mengenai kerangka hukum kepailitan yang berlaku serta aspek-aspek perubahan yang dibutuhkan. Dalam hal kerangka hukum sudah mengakomodir pelaksanaan prosedur hybrid, para pengambil kebijakan harus tetap memfokuskan upayanya untuk melakukan sosialisasi kepada para pemangku kepentingan.

 

Sumber:





Altruistic capital, what it is? Is it a kind of new shares or commodities?. Even for Accounting and Economic Student, The term of Altr...



Altruistic capital, what it is? Is it a kind of new shares or commodities?. Even for Accounting and Economic Student, The term of Altruistic Capital is something new and I believe this is the case for most of us. in this article I try to explain the concept, the gap within, and possible application in the public sector.

The fundamental Gap - Good vs Bad

The first time I heard about altruistic capital was from LSE public lecture series (click here) and it catches my attention almost instantly.  It can be traced back from Professor Nava Ashraf paper on American Economic Review in 2017, but its origins are much older, rooted from a branch of behavioral economics and inspired by our well-known economist Adam Smith.  Altruistic Capital is based on an assumption that human is not necessarily self-centered and ‘good’ in nature as expressed in His Books "The Theory of Moral Sentiments" that

“How selfish soever man may be supposed, there are evidently some principles in his nature, which interest him in the fortune of others, and render their happiness necessary to him, though he derives nothing from it, except the pleasure of seeing it.”

this assumption is contrary to what we learn in the class that humans are self-centered and act rationally according to their interests. so, with this new assumption lead to a new paradigm to perceive the concept of capital namely "altruistic capital". Altruistic capital is actually a character, its value is measured by how the character created a social benefit (helping others, do volunteer action, etc) and how it makes people (including him/herself) happy. This value is accumulated (or build) by action "altruistic action", the more 'good actions' done the more capital (feeling happy, building character, and social benefit ) accumulated. so at this point, we make it clear that the term of altruistic capital is a 'good character' and to increase its value is by investing in forms of 'altruistic' action.

but is it the right assumption? if we think about this concept more deeply, the two assumptions about human nature are not exactly opposite, rather complementary. at first, we think that there are two sides of human nature good vs bad. but it was incorrect, humans act basically for their own interests, humans need to feel like 'a good person' to be accepted by society because humans are a social creature and to fulfill that we do an altruistic action. although it might vary for each person about how much action needed to fulfill this 'psychological need'. my argument actually in line with what Adam Smith statement that: "though he derives nothing from it, except the pleasure of seeing it". it is then we embedded a 'label' for our action as good or bad based on the impact or moral value. So for me, it was improper to believe that this 'altruistic' concept is exclusive, totally new, Adam Smith has taken back his word about human nature and then it will 'correct' all of his economic foundations. altruistic is an extension of economic studies that try to create a framework to comprehend the complexity and some irrationality in human action and nature that is not captured in conventional economic concepts.

The Return on Investment

As I mentioned before, humans act for their own interest (return) and in the case of altruistic action, the return is more likely in the form of 'happiness'. Is it? The fact is 'return' that we will get from high altruistic capital also in form of monetary benefit namely higher income. To think of it the same as investment in human capital (in the form of education), investing in altruistic capital actually build our character that would be fit or beneficial for others and the environment. Nowadays, employees get promotions not only because of their hard skills (investment in human capital) but also their soft skills (character, leadership, etc) which is related to altruistic capital. Being a 'good' person is beneficial in the workplace, for example, creating a comfortable working environment that leads to higher performance and lower employee turnover, it could make you a respectable person thus gives you more chance to get a promotion and or a raise. So, once again the altruistic concept is not exclusive and could bring a non-monetary and monetary benefit (return) for oneself.

The problem is, even if the return is in the form of a monetary unit. It is hard to measure because of the variability and uncertainty that follows. Again, as I said before this concept is trying to comprehend the complexity of human action and nature thus it faces a lot of difficulties to some extent. But I agree that we should concern about altruistic capital for its possible benefit to our life.

A possible application in the Public Sector

Talking about behavior and contribution to society reminds me of taxes. if we think that paying taxes as one form of altruistic action that could bring benefit to society then one question arises “ what is the problem and how to make people realize and value this action” is it because they are bad person who doesn’t want to contribute? I don’t think so. This problem is not because of its lack of benefit (because people get it from public facilities and services) but because of its lack of impact on one personal happiness or self-fulfillment to do so. As we know that public goods bring a ‘problem’ because of its non-excludability and non-rivalry characteristics, everyone will get it whether they do an altruistic action (paying taxes) or not. So, how to make people realize and value paying taxes? The answer is the government must create a scheme that makes a greater impact on oneself despite its well-known concept of indirect benefit. The impact can be in form of the monetary or nonmonetary unit as I explained before, for example, a household that already pays their property taxes will get a sticker as a symbol of pride that shows they are a good citizen. On the other side, the government could make a national campaign about how important taxpayers to society. this could be self-fulfillment and pride for those who pay their taxes.

Memasuki tahun politik berbagai isu mulai dilontarkan ke publik. Satu isu yang masih seksi adalah meningkatnya utang pemerintah yang...




Memasuki tahun politik berbagai isu mulai dilontarkan ke publik. Satu isu yang masih seksi adalah meningkatnya utang pemerintah yang dikatakan semakin ‘berbahaya’. Tentunya isu ini menjadi komoditas gorengan yang paling mudah digunakan oleh oposisi karena kebanyakan orang ‘anti’ untuk berutang. Saya pun tumbuh di keluarga yang percaya utang akan membawa keburukan dan ‘utang’ adalah momok yang harus dihindari. Mungkin hal ini juga terjadi di banyak keluarga lainnya. tapi sadarkah anda dibalik paranoia utang ini ada hal yang menjadi permasalahan mendasar dan berbahaya bagi ekonomi kita kedepannya.

Salah satu ‘pelajaran’ yang diberikan pada saya sejak kecil adalah bagaimana utang dapat mengakibatkan pengusaha bangkrut dan hidupnya menjadi sengsara, bagaimana bekerja di swasta atau wirausaha adalah hal yang ‘berbahaya’ dan tidak menjamin hidup karena kebanyakan pengusaha berutang, sehingga akhirnya setiap orang dipandang sukses ketika mereka mendapat titel sebagai “PNS” karena memiliki kepastian pendapatan setiap bulannya. Tidakkah anda menyadari bahwa ‘pelajaran’ ini mendidik generasi penerus sebagai pribadi yang risk averse dan tidak berani melakukan inovasi. Kita diajari untuk menjadi pekerja kantoran and that’s it.

Permasalahan mendasar dalam ‘pelajaran’ ini adalah bagaimana bibit-bibit enterprenur mati. Generasi penerus menjadi takut untuk berwirausaha, takut untuk mengambil risiko, dan menjadikan ‘pegawai kantoran’ sebagai tujuan hidup sampai akhirnya mereka merasa nyaman dan tidak akan pernah melakukan terobosan apa-apa. “kita harus bersyukur, sudah bisa hidup terjamin dan aman tidak usahlah inovasi-inovasi, masih banyak yang susah makan”, itulah respon umum yang akan didapatkan dan akan terus didengungkan sebagai pembenaran akan dampak yang tadi sudah saya jelaskan. Syukur adalah alasan yang benar dan kita semua patut bersyukur untuk apa yang telah Tuhan berikan kepada kita. Namun saat ini zaman sudah berubah, kita dipenuhi dengan persaingan dalam kebaikan, seluruh sektor memerlukan inovasi agar mampu memberikan yang terbaik dan sebuah pola pikir yang menutup inovasi tersebut bukanlah jawaban yang tepat.

Kenapa pemerintah berutang? Secara umum adalah karena kita menerapkan kebijakan anggaran defisit yang disebabkan oleh perekonomian yang belum mampu mencapai output optimal sehingga diperlukan dorongan berupa belanja pemerintah yang lebih besar dan kebijakan ekspansif lainnya untuk meningkatkan gairah aktivitas perekonomian terutama di sektor swasta. Namun, gairah tersebut tidak akan pernah bergelora jika setiap orang dididik untuk menjadi seorang yang mencari aman.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pendorong PDB kita adalah konsumsi, hal ini tergambar secara sederhana dari fenomena sehari-hari dimana kita berusaha mencari pekerjaan yang ‘aman’ dan kemudian menjalani gaya hidup konsumtif seperti belanja, jajan di mall dll karena sudah merasa ‘aman’. Kalau sudah merasa aman, maukah anda untuk mengambil risiko dan keluar dari rasa aman? Saya yakin kebanyakan orang menjawab “tidak” dan akhirnya secara agregat jika mayoritas orang berpikiran hal yang sama berakibat pada rendahnya produksi dalam negeri atau lemahnya ‘gairah’ ekonomi swasta dan akhirnya kebijakan defisit akan terus berjalan.

Jadi kenapa pemerintah berutang? Jawabannya adalah karena pola pikir kita yang hidup dalam dokterinisasi untuk membenci utang dan mencari jalan hidup aman sehingga akhirnya jika dilakukan secara bersama-sama berakibat pada matinya inovasi dan produktivitas nasional. Pola pikir kita yang risk averse mengakibatkan pemerintah berutang karena perekonomian menjadi belum optimal. JADI JANGAN SALAHKAN SIAPA-SIAPA,SALAHKAN DIRI KITA SENDIRI. Janganlah jadikan isu ini untuk semakin menakuti masyakarat dan mengakibatkan masalah ini terus terulang. Mau sampai kapan politisi-politisi kita mau memakai isu ini dan semakin menjebak bangsa kita dalam permasalahan yang sama?. Dewasalah!!! dan semoga kedepan akan bermunculan entrepreneur-entrepreneur muda yang mampu merubah struktur perekonomian kita.



Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Cari

Translate

catatan

seluruh konten dalam website ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili tempat saya bekerja maupun tempat saya menempuh pendidikan