Be Positive, Full of Passion and Ideas

COVID-19 memberikan dampak ekonomi yang parah bagi perekonomian global, kondisi tersebut juga berlaku bagi Indonesia yang sempat mencatatkan...

PENGGUNAAN MEKANISME OUT OF COURT WORKOUT (OCW) DAN HYBRID PROCEDURES DALAM RANGKA MEMPERKUAT PEMULIHAN EKONOMI NASIONAL


COVID-19 memberikan dampak ekonomi yang parah bagi perekonomian global, kondisi tersebut juga berlaku bagi Indonesia yang sempat mencatatkan kontraksi pertumbuhan PDB sebesar -2,19 persen di tahun 2020. Berbagai daya upaya telah dikerahkan oleh regulator dalam rangka mendorong pemulihan ekonomi salah satunya melalui program pemulihan ekonomi nasional dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020, dan berbagai kebijakan ekstraordinary yang diluncurkan oleh Bank Sentral dan Otoritas Pengawas Jasa Keuangan.

Kabar membahagiakan akhirnya terlihat di kuartal II 2021, Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan positif PDB sebesar 7,07 persen year on year.  Kondisi ini sejalan dengan proyeksi IMF sebesar 4,8 di tahun 2021, 6 persen di tahun 2022, dan terus berlanjut dalam jangka menengah sebesar 5,5 – 6,1 di tahun 2025 (IMF Country Report No. 21/46, Maret 2021). Namun, dengan melonjaknya infeksi COVID varian delta di awal kuartal III 2021 menimbulkan ketidakpastian dalam kondisi perekonomian kedepannya.

Menurunnya aktivitas perekonomian berdampak pada memburuknya kondisi para pelaku usaha, dilansir dari Kompas berdasarkan sistem informasi penelusuran perkara dari lima pengadilan niaga (Jakarta Pusat, Medan, Semarang, Surabaya dan Makassar) terdapat tren peningkatan kasus PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) selama masa pandemi, dari 434 kasus di tahun 2019 menjadi 641 kasus di tahun 2020 (47,6% YoY) dan per kuartal I 2021 tercatat adanya pengajuan sebanyak 199 permohonan (70% YoY).

Kondisi ini turut mencuri perhatian pemerintah, dilansir dari Kata Data Menteri Koordinator Bidang  Perekonomian dalam Rakernas Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pada tanggal 24 Agustus 2021 sempat menyampaikan bahwa pemerintah sedang mengkaji moratorium terhadap PKPU untuk perusahaan yang terdampak pandemi. Hal ini sejalan dengan Concept Note yang disusun oleh World Bank berjudul “World Development Report 2022  Finance For An Equitable Recovery”, dalam publikasi tersebut menyoroti meningkatnya risiko peningkatan kasus PKPU dan/atau kepailitan dapat membebani sistem pengadilan yang mengakibatkan lambatnya proses restrukturisasi dan peningkatan biaya penanganan baik untuk debitur maupun kreditur sehingga menghambat penyaluran kredit kepada perusahaan yang sehat selama proses pemulihan ekonomi. Terdapat lima rekomendasi untuk menangani permasalahan tersebut yaitu memperkuat mekanisme penanganan formal agar out of court workout dapat diimplementasikan, memfasilitasi mekanisme yang lebih sederhana seperti konsiliasi dan mediasi (hybrid approach), menetapkan mekanisme OCW yang murah dan dapat diakses oleh UMKM, simplifikasi prosedur likuidasi, serta mendorong debt forgiveness and discharge untuk debitur perorangan.

Sependapat dengan analisis dari World Bank, Financial Stability Board (FSB) juga menyampaikan bahwa peningkatan kasus PKPU dan/atau kepailitan akan berdampak pada sektor keuangan sebagai pihak kreditur, menurunnya kualitas kredit secara masif dan bersamaan di masa pandemi dikhawatirkan dapat meningkatkan kerentanan di sistem keuangan. Mekanisme OCW dianggap sebagai salah satu cara yang efisien untuk dapat menghindarkan debitur dari proses likuidasi pada saat terjadinya peningkatan kasus PKPU. Oleh karena itu, FSB pada tanggal 28 Juni 2021 lalu menerbitkan peer reviu tematik tentang penanganan utang korporasi dan meminta feedback dari seluruh stakeholder. Tujuan dari peer reviu  tersebut adalah untuk menganalisis praktik yang dimiliki oleh negara anggota terkait dengan pelaksanaan OCW, dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan, lesson learn, serta rekomendasi perbaikan. FSB memperkirakan akan dapat mempublikasikan hasil laporan peer reviu tersebut pada awal tahun 2022.


Sumber: diolah

Berdasarkan pembahasan sebelumnya ditekankan perlunya mendorong pelaksanaan OCW dan hybrid procedures dalam penanganan kasus perusahaan yang mengalami masalah insolvensi. Secara umum terdapat empat Jenis penanganan resolusi yaitu OCW, hybrid procedures, judicial reogranizations, dan likuidasi. Keempat prosedur tersebut diklasifikasikan berdasarkan tingkat formalitasnya sebagai berikut:



 

Sumber: World Bank, 2016, A Toolkit for Out of Court Workouts

OCW merupakan mekanisme yang tidak terstruktur karena dilaksanakan diluar sistem pengadilan formal,  prosedur pelaksanaan OCW menyesuaikan kebutuhan para pelaku terkait. Terdapat beberapa keuntungan dari OCW yaitu:

  1. Cepat, karena tidak ada prosedur dengan kerangka baku;
  2. Fleksibel, karena para pihak bebas untuk menentukan syarat-syarat restrukturisasi;
  3. Informal, karena perjanjian dilakukan secara privat antara para pihak; dan
  4. Rahasia, karena perjanjian pribadi tidak disebarluaskan ke publik sehingga dapat mencegah kerusakan reputasi debitur.

Walaupun OCW merupakan mekanisme informal, di beberapa negara memilih untuk menyusun pedoman yang tidak bersifat mengikat. Jika pemerintah mengambil pendekatan tersebut terdapat beberapa tindakan yang harus dilakukan yaitu melakukan evaluasi dan memahami bagaimana mekanisme kerjasama antara kreditur dan debitur dalam penyelesaian utang-piutangnya serta mengkomunikasikan kerangka kepailitan kepada para pemangku kepentingan.

Adapun beberapa tantangan dalam penerapan OCW adalah:

  1. Kreditur “hold-out”: dikarenakan sifat kontraktualnya,  OCW hanya mengikat pihak penandatangan perjanjian sehingga meningkatkan risiko adanya kreditur lainnya (yang tidak terikat) untuk mengambil keuntungan.
  2. OCW hanya dimungkinkan jika kreditur utama menyatakan kesediaannya. Kreditur utama dapat mendorong kreditur lain untuk bergabung (atau tidak).
  3. Identifikasi/organisasi kreditur: Penjualan utang di pasar sekunder dan penggunaan hedging dapat menghambat identifikasi kreditur yang bertujuan untuk mengoordinasikan strategi negosiasi.
  4. Perlunya koordinasi para pihak yang kuat terutama jika terjadi fragmentasi sudut pandang.
  5. Masalah agregasi: Sering kali ada berbagai jenis kreditur dengan kepentingan berbeda sehingga mempersulit proses negosiasi. Untuk membuat negosiasi lebih mudah dapat dilakukan pengelompokan berbagai jenis kreditur atau hanya memfokuskan pembahasan pada kelompok kreditur tertentu.
  6. Perlu itikad baik: OCW hanya dapat berhasil jika terdapat komitmen nyata untuk melakukan negosiasi.
  7. Perlu kerjasama: Setiap kreditur harus setuju untuk tidak mendesak perusahaan melakukan pelunasan kewajibannya sampai kondisi perusahaan membaik.
  8. Tidak adanya proses restrukturisasi yang dapat diprediksi dapat menciptakan ketidakpastian yang tinggi sehingga tidak menarik bagi pemangku kepentingan, terutama dalam kasus perusahaan berskala lebih besar.
  9. Adanya asimetri informasi antara debitur dan kreditur dapat menimbulkan konflik kepentingan dan masalah koordinasi.
  10. Hukum kepailitan: perlu memitigasi adanya ketentuan yang dapat membuat perjanjian yang telah disepakati untuk dibatalkan (dalam skenario likuidasi) yang dapat membuat kreditur enggan untuk mencapai kesepakatan.

Pendekatan hybrid merupakan gabungan dari mekanisme OCW dan mekanisme formal pengadilan. Prosedur hybrid mengambil beberapa keuntungan dari OCW seperti kecepatan dan fleksibilitas, dilain sisi prosedur hybrid juga dapat mengikat kreditur lainnya (yang kurang setuju dengan rencana rekstrukturisasi) sehingga dapat menjaga kelancaran proses restrukturisasi. Lebih lanjut, pelaksanaan prosedur hybrid juga dapat dilakukan sebelum perusahaan benar-benar mengalami masalah insolvensi untuk mencegah terjadinya pemburukan kesehatan perusahaan. Beberapa keuntungan dari penggunaan prosedur hybrid adalah:

  1. Bersifat mengikat. Kesepakatan pribadi yang dicapai dengan kreditur biasanya diajukan ke pengadilan atau otoritas administratif sehingga mengikat dan dapat dilaksanakan oleh masing-masing pihak.
  2. Mendorong tercapainya kesepakatan bagi kreditur yang berbeda pendapat. Persetujuan dari pengadilan dapat menjadi alat persuasi yang ampuh untuk tercapainya kesepakatan
  3. Aspek Keadilan. Perjanjian restrukturisasi telah memenuhi persyaratan formal dan ambang batas minimum yang disyaratkan oleh hukum.
  4. Kepastian. Keterlibatan pengadilan memberikan kepastian bagi para pemangku kepentingan.

Beberapa isu dalam penggunaan mekanisme hybrid yang dapat menjadi perhatian para pihak yang terlibat adalah sebagai berikut:

  1. kehilangan sifat rahasianya dan dapat mengakibatkan keengganan para pihak untuk melakukan diskusi (mengingat adanya peran pengadilan).
  2. Kemungkinan bagi kreditur (terutama yang tidak terlibat) untuk mengajukan gugatan formal. Namun demikian, alasan-alasan di mana kesepakatan tersebut dapat digugat biasanya terbatas.
  3. Adanya proses gugatan atau peninjauan kembali menimbulkan ketidakpastian sementara. 

untuk dapat mengembangkan prosedur hybrid yang efektif terdapat kemungkinan untuk melakukan  reformasi terhadap undang-undang kepailitan, kondisi ini berbeda dengan  OCW. Oleh karena itu, jika pemerintah akan mengambil keputusan untuk memperkenalkan prosedur hybrid perlu pemahaman mengenai kerangka hukum kepailitan yang berlaku serta aspek-aspek perubahan yang dibutuhkan. Dalam hal kerangka hukum sudah mengakomodir pelaksanaan prosedur hybrid, para pengambil kebijakan harus tetap memfokuskan upayanya untuk melakukan sosialisasi kepada para pemangku kepentingan.

 

Sumber:





Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Cari

Translate

catatan

seluruh konten dalam website ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili tempat saya bekerja maupun tempat saya menempuh pendidikan