oleh: Muhammad Fuad Anshari dan Niar Irianti
1. Pendahuluan
European Union (2017) mendefinisikan bahwa pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dilakukan oleh generasi masa kini untuk memenuhi kebutuhan sekarang dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan kemampuan generasi selanjutnya dalam memenuhi kebutuhannya yaitu dengan menjaga lingkungan dan mendukung keadilan sosial. Di dalam suatu negara pembangunan ekonomi dilakukan oleh beberapa pihak utama yaitu pemerintah dan swasta (Mankiw, 2008). namun, sesuai dengan konsep kapitalisme dan agensifikasi, pihak swasta memiliki kecenderungan untuk memaksimalkan keuntungannya sendiri sehingga menimbulkan eksternalitas yang berdampak buruk bagi masyarakat. Hal ini tergambar dari Environmental Performance Index (EPI) 2018 dimana Indonesia memperoleh nilai 46,92 dan menempati peringkat 133 dari 180 negara yang disurvei. Oleh karena itu, para ekonom kemudian berargumen bahwa perlu adanya peran pemerintah dalam mengarahkan pembangunan/aktivitas bisnis ke arah yang diinginkan yaitu menuju pembangunan berkelanjutan.
Pada praktiknya instrumen yang dapat digunakan pemerintah untuk mengatur perilaku pasar adalah melalui anggaran pemerintah dan kebijakan perpajakan. anggaran sebagai acuan umum atau target yang ingin dicapai pemerintah dalam rangka membangun perekonomian terdiri dari penerimaan, belanja, dan pembiayaan. Dari aspek pendapatan atau perpajakan, pemerintah dapat mengontrol perilaku usaha agar memperhatikan isu lingkungan melalui beban dan insentif pajak. dari aspek belanja, pemerintah dapat memberikan alokasi subsidi kepada usaha pemerintah pusat/daerah dan atau swasta untuk kegiatan yang ramah lingkungan.
Saat ini, di berbagai negara maju sudah menerapkan pajak lingkungan. bahkan di Indonesia sudah mulai muncul pembahasan terkait pajak lingkungan tersebut. Namun, pembahasan tersebut terhenti dan tidak jadi diterapkan salah satunya dikarenakan fungsi pajak lingkungan yang dianggap belum sesuai dengan tujuannya itu sendiri sehinnga diperlukan kerangka konseptual yang menyeluruh terkait penggunaan instrumen kebijakan pemerntah ini untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia. dalam paper ini kami mengusung konsep Evo-PFR (Environment Public Finance Reform) yaitu suatu tujuan reformasi keuangan negara yang berasaskan lingkungan, dimana diperlukan perubahan besar di instrumen kebijakan pemerintah (terutama terkait pengelolaan keuangan negaranya) sehingga akan merubah arah pembangunan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Lebih lanjut kami berusaha untuk membuat kerangka konseptual yang lebih komprehensif yang dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Gambar 1. Konsep lingkup pembahasan Evo-PFR
Sumber: diolah oleh penulis.
Dari gambar 1 dapat terlihat bahwa konsep Evo-PFR merupakan lingkup umum yang berusaha untuk merubah setiap instumen kebijakan pemerintah terutama dalam bidang keuangan negara. Kemudian untuk mempermudah pembahasan dalam paper ini kami membatasi pada aspek anggaran pemerintah berbasis lingkungan dan lebih rinci lagi dari sisi penerimaan negara yaitu perpajakan berbasis lingkungan atau yang lebih dikenal dengan pajak lingkungan. Topik anggaran dan perpajakan dipilih karena merupakan instrumen utama pemerintah untuk mengarahkan pembangunan ekonomi di Indonesia.
2. Anggaran Pemerintah Berbasis Lingkungan
Konsep Penganggaran Pemerintah
Premchand (1987) mendefisinikan penganggaran sebagai suatu proses untuk mengalokasikan sumberdaya. Sebagaimana disinggung oleh Mankiw (2008) dalam ekonomi, sumberdaya yang dimiliki suatu negara adalah terbatas sehingga proses penganggaran ini merupakan tahapan yang penting untuk perencanaan aktivitas. National Advisory Council on State and Local Budgeting (1998) menambahkan proses penganggaran yang baik harus memenuhi beberapa karakteristik yaitu: berkaitan dengan perencanaan jangka Panjang, terhubung dengan tujuan organisasi (pemerintah), fokus terhadap output dan outcome, menggunakan komunikasi yang efektif dengan stakeholder, dan mengarahkan terhadap perbaikan sistem manajemen pemerintahan. Lebih lanjut penganggaran yang baik bukan hanya mempersoalkan kesimbangan antara penerimaan dan belanja namun bagaimana cara untuk mewujudkan anggaran sebagai instrumen pencapaian tujuan jangka panjang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keungan Negara. Anggaran di sektor pemerintahan di susun oleh Pemerintah Pusat (disebut Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara/APBN) dan Pemerintah Daerah (disebut Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah/APBD) yang terdiri dari tiga komponen utama yaitu belanja, pendapatan, dan pembiayaan.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka, sebaiknya dalam menyusun APBN dan APBD pemerintah seyogyanya memperhatikan perencanaan dan tujuan jangka panjang sehingga pemerintah dapat fokus kepada pencapaian tujuan dan bukan hanya mempermasalahkan isu jangka pendek yaitu memenuhi keseimbangan penerimaan dan belanja. Sesuai dengan konsep SDG’s, maka isu besar yang harus dibahas adalah bagaimana anggaran dan proses penganggaran di pemerintahan tersebut dapat mendukung tercapainya tujuan SDG’s yaitu pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Penganggaran Berbasis Lingkungan
Penganggaran berbasis Lingkungan (green budgeting) perlu dilakukan secara masif dan komprehensif. Pemerintah dalam hal ini memiliki kewenangan untuk memaksa seluruh unsur birokrasi agar turut serta dalam pelaksanaan program ini. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat serta pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib mengalokasikan yang memadai untuk membiayai kegiatan perlindungan dan pengelolan lingkungan hidup, serta program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup. Pemerintah juga wajib mengalokasikan anggaran dana alokasi khusus lingkungan hidup yang memadai untuk diberikan kepada daerah yang memiliki kinerja perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik.
Strategi implementasi green budgeting ini dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek pendapatan dan aspek belanja. Dari aspek belanja, pemerintah harus membuat program pembangunan dengan mempertimbangkan unsur-unsur lingkungan sebagai bahan pertimbangan. Hal ini dapat diterapkan dalam melakukan capital budgeting dalam untuk menentukan proyek mana yang akan dipilih. Biaya-biaya yang timbul sebagai akibat eksternalitas negatif harus dimasukkan dalam perhitungan cost benefit analysis. Dengan konsep green budgeting, seharusnya infrastruktur kereta api lebih dipilih daripada jalan tol, pembangkit listrik tenaga air akan lebih diprioritaskan dibandingkan tenaga diesel yang berbahan bakar batu bara.
Secara mikro, upaya-upaya yang dapat dilakukan misalnya, penggunaan energi terbarukan, penghematan penggunaan energi, kertas, dan air, misalnya pengadaan peralatan kantor yang lebih hemat energi, penerapan konsep paperless office, penerapan secara ketat “nyala-mati” listrik, serta aktivitas operasional rutin lainnya yang dilakukan sebagai penjiwaan terhadap semangat green budgeting. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan subsidi sebagai rewards kepada pemerintah/kalangan dunia usaha yang memiliki kinerja yang baik terhadap lingkungan.
Dari aspek pendapatan, pemerintah dapat mengontrol kegiatan usaha melalui pengenaan pajak (green tax) terhadap setiap aktivitas usaha yang mengakibatkan eksternalitas pada lingkungan. Kebijakan ini diharapkan dapat menjadi upaya preventif agar para pelaku usaha merasa terancam dan enggan untuk melakukan tindakan yang berdampak pada kerusakan lingkungan. Penerimaan dari green tax ini selanjutnya digunakan menjadi sumber dana untuk subsidi lingkungan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dengan begitu akan terdapat pengelolaan yang saling terintegrasi antara penerimaan dan belanja dan disisi lain pemerintah akan ‘dipaksa’ untuk menegakkan pajak lingkungan tersebut. Selain dari perpajakan, penerimaan lain yang dapat diperoleh yaitu dari perizinan eksploitasi sumber daya alam. Pemerintah seharusnya tidak hanya mengejar penerimaan yang besar, tetapi harus pula memperhatikan dampak terhadap lingkungannya. Maka setiap perizinan yang diberikan pun harus bersifat ramah lingkungan.
3. Pajak Lingkungan
Pajak Lingkungan di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007, pasal 1, ayat 1, pengertian Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pajak memiliki peranan yang signifikan dalam kehidupan bernegara, khususnya pembangunan. Menurut Brotodihardjo (1995) terdapat dua fungsi pajak yaitu Fungsi Anggaran dan Fungsi Regulasi. Syadullah berpendapat bahwa Selama ini kebijakan perpajakan di Indonesia masih lebih menitikberatkan pada fungsi anggaran, sedangkan fungsi pajak sebagai regulatory di Indonesia saat ini masih sangat kurang, pendapat tersebut juga didukung oleh Rendi (2014) walaupun selama ini sebenarnya sudah terdapat beberapa contoh penerapan fungsi regulasi tersebut seperti Pembaharuan Perpajakan Nasional, Sunset Policy serta Penurunan Tarif PPh Pribadi dan Badan.
Dinegara-negara maju seperti OECD dan negara-negara di Eropa telah menerapkan fungsi regulasi ini untuk menyukseskan tujuan pembangunan berkelanjutannya yaitu dengan menerapkan green tax (pajak lingkungan). Pemerintah Indonesia sebenarnya pernah mencoba mengajukan pajak lingkungan namun akhirnya gagal karena banyaknya penolakan oleh pengusaha dan adanya pandangan bahwa perusahaan diperbolehkan untuk mencemari lingkungan asalkan sudah membayar pajak lingkungannya (Sulaswatty, 2010), padahal menurut Pratiwi (2014) perlu adanya pajak lingkugan ini untuk mencapai target pembangunan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan strategi yang diberikan oleh OECD (2015) untuk mengintegrasikan konsep ‘hijau’ kedalam regulasi sehingga dapat mencapai pembangunan berkelanjutan. Lebih lanjut. Hasan (2008) menjelaskan beberapa aspek yang harus diperbaiki dari konsep perpajakan lingkungan di Indonesia yaitu 1) perlunya menegaskan fungsi regulasi pajak lingkungan daripada fungsi penganggarannya, 2) subjek pajaknya, tidak hanya perusahan yang beromzet lebih dari 300 juta, 3) penetapan tarif yang tidak terlalu membebani swasta.
Pajak Lingkungan di Negara Lainnya
Berdasarkan data dari laporan OECD tahun 2015 berjudul “Towards Green Growth?: Tracking Progress A Framework to align economic and environmental goals”. Berikut ini adalah Sembilan negara dengan pendapatan pajak lingkungan terbesar (berdasarkan persentase Produk Domestik Bruto (PNB)) diantara negara OECD lainnya:
Gambar 2. Komposisi pajak lingkungan di 9 Negara OECD
Sumber: OECD, Towards Green Growth?: Tracking Progress A Framework to align economic and environmental goals
Dari gambar 2 dapat dilihat bahwa mayoritas negara-negara yang telah menerapkan pajak lingkungan mengenakan pajak untuk produk energi (sebagai komponen terbesar) dan transportasi. Padahal masih terdapat aspek lingkungan lainnya seperti air, yang disebabkan karena prospeknya masih sedikit (Boyd, 2003), tarifnya yang rendah dan dampak pajak air terhadap lingkungan yang tidak dapat jelas terlihat namun jika dibandingkan dengan negara tanpa pajak air memberikan dampak yang relatif besar (European Commision, 2001).
OECD (2011) menjelaskan bahwa dalam merancangpajak lingkungan setidaknya harus memperhatikan beberapa hal seperti: Target pajak didasari pada target atau karakteristik polutan, Lingkup pajak lingkungan idealnya sesuai dengan lingkup dampak lingkungan itu sendiri, Tarif ajak harus bisa sebanding dengan dampak lingkungan, Pajak lingkungan diharapkan dapat membantu konsolidasi pajak dan bahkan mengurangi beban perpajakan. Pajak harus kredibel dan tingkatnya dapat diprediksi untuk memotivasi perbaikan lingkngan. Pajak lingkungan dapat memberikan dampak distribusi melalui instrument kebijakan lainnya. Komunikasi yang jelas agar diterima publik. Serta pajak lingkungan dapat dikombinasikan dengan instrumen kebijakan lainnya untuk mengatasi suatu isu tertentu.
Pajak Lingkungan sebagai Bagian dari Evo-PFR
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya maka untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan diperlukan dukungan dari instrumen kebijakan yang mendukung tercapainya hal tersebut. Oleh karena itu, diperlukan reformasi yang memadai dari aspek perpajakan yang ada di Indonesia. Kami berpendapat bahwa pajak lingkungan yang tepat untuk diterapkan adalah sebagai berikut:
a. Objek pajak lingkungan Evo-PFR melingkupi seluruh aspek lingkungan yang diperlukan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan seperti pajak karbon (pajak kendaraan bermotor dan transpotasi, serta pajak terhadap polutan udara), pajak energi (terutama penggunaan energi dari bahan bakar tidak terbarukan, dan pajak atas air buangan,
b. Subjek pajak lingkungan Evo-PFR meliputi seluruh entitas bisnis tidak terbatas atas omset usaha setahunnya. Hal ini untuk mencapai pengaturan keseluruhan terhadap sektor swasta.
c. Pelaksana fungsi perpajakan lingkungan adalah Pemerintah Pusat dan Daerah. Hal ini berbeda dari konsep perpajakan yang saat ini dilakukan di Indonesia dimana terdapat pemisahan antara pajak pemerintah pusat dan pajak pemerintah daerah. Karena untuk pajak lingkungan diperlukan adanya penekanan fungsi regulasi maka dalam penerapannya dibutuhkan dukungan dan usaha dari seluruh lini pemerintah. Adapun pemisahannya terjadi pada subjek pajaknya yaitu perusahaan besar dan multinasional untuk pemerintah pusat dan perusahaan lainnya untuk pemerintah daerah. Manfaat lain dari pembagian ini adalah pemerintah daerah sebagai pihak yang terdampak langsung terutama di daerah-daerah akan bisa langsung mengawasi dan ‘menindak’ perusahaan yang melakukan pencemaran di daerahnya tanpa harus menunggu arahan dari pemerintah pusat.
d. Tarif pajak lingkungan sebaiknya melekat dengan tarif pajak penghasilan atau bersifat multiplier sehingga perusahaan akan lebih memperhatikan isu lingkungan tersebut karena jika perusahaan melakukan pencemaran lingkungan maka total pajak yang harus dibayar akan berlipat dalam konsep ini dapat diperkenankan pengurangan pajak jika perusahaan tidak melakukan pencemaran sehingga pengurangan pajak penghasilan tersebut dapat dilihat sebagai suatu insentif perpajakan. Namun, hal tersebut tergantung dari hasil pembahasan di legislatif.
4. Kesimpulan
Dalam mencapai pembangunan berkelanjutan diperlukan peran utama dari dua pihak yaitu pemerintah dan swasta. Peran pemerintah dalam mengarahkan pembangunan ekonomi sangatlah besar untuk menjaga agar pembangunan ekonomi selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Cara pemerintah untuk mengarahkan pembangunan ekonomi tersebut adalah melalui berbagai instrumen kebijakan terutama anggaran dan perpajakan. Dari aspek anggaran maka Evo-PFR berusaha untuk merubah mindset atau arah tujuan penganggaran agar senantiasa memperhatikan isu lingkungan sebagai contoh sektor kegiatan yang berimplikasi pada perbaikan lingkungan akan mendapatkan alokasi anggaran yang lebih besar yang tentunya sumber pendanaannya secara ideal diperoleh dari penerimaan berbasis lingkungan (pajak lingkungan) bukan dengan membebankan kepada wajib pajak pribadi karena mereka merupakan pihak yang terdampak dari isu lingkungan tersebut. Dengan menghubungkan antara sisi pendapatan berbasis lingkungan (pajak lingkungan) dan belanja berbasis lingkungan diharapkan pengelolaan keuangan negara akan menjadi lebih stabil dan terpercaya di mata masyarakat. Selain itu, juga dapat memaksa pemerintah untuk proaktif dalam menegakkan pajak lingkungan ini karena mau tidak mau dana untuk subsidi lingkungan harus didapatkan dari pajak lingkungan yang mana pada akhirnya diharapkan akan mampu mengarahkan pembangunan ekonomi sesuai dengan arah tujuan pembangunan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku, Jurnal, dan Publikasi Lainnya
Boyd, James. 2003. Water Pollution Taxes: A Good Idea Doomed to Failure?.Washington DC:Resource for the Future
European Commision. 2001. Economic and Environmental Implications of the Use of Environmental Taxes and Charges in the European Union and its Member States. EU
Hasan, Dahliana dan Dinarjati Eka Puspitasari. 2010. Tinjauan terhadap rencana penerapan pajak lingkungan sebagai instrument perlindungan lingkungan hidup di Indonesia. Mimbar Hukum, vol 30 No 3, Oktober 2008 hal 411-588
Makmun Syadullah…Green Tax versus Green Insentive, Badan Kebijakan Fiskal. Link: link:
http://www.fiskal.kemenkeu.go.id/dw-konten-view.asp?id=20090721115454Mankiw, N.Gregory. 2008. Principles of Economics 6th edition. Cengage Learning
National Advisory Council on State and Local Budgeting. 1998. Recommended Budget Practices: a Framework for Improved State and Local Government Budgeting. Government Finance Officers Association.
OECD. 2011. Enviromental Taxation A Guide for Policy Makers. OECD
OECD.2015. Towards Green Growth?: Tracking Progress A Framework to align economic and environmental goals.OECD
Pratiwi, Eva Mustika dan Gadhang Setyawan. 2014. Tinjauan Dalam Rencana Pemberlakuan Green Tax Atau Eco Tax Di Indonesia Untuk Menghadapi Asean Economic Community 2015. Jurnal Riset Akuntansi Dan Keuangan, 2 (3), 2014, 443-456
Premchand, A. 1987. Government Budgeting and Productivity. Taylor&Francis
Rohendi, Acep, Fungsi Budgeter Dan Fungsi Regulasi Dalam Ketentuan Perpajakan Indonesia (Budgetary Function and Regulation Function in Indonesian Taxation Law) (April 1, 2014). Ecodemica, Vol. II, No. 1, April 2014.
Santoso Brotodihardjo,1995, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT.Eresco
Sulaswaty, Anny dan Biantika Kusuma Wardhani. 2010. Pajak untuk Peningkatan Perbaikan Lingkungan.Media Indonesia
United Europe. 2017. How Has the EU Progressed towards the Sustainable Development Goals. Eurostat Monitoring Report.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keungan Negara
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup
C. Lainnya